Rabu, 08 Juni 2011

Kebijakan Mengenai BBM Bersubsidi, Apa Untung Ruginya dan Bagaimana Dampak Pembatasan BBM Bersubsidi
Oleh : Novia Febrianti
C04210101

Abstrak



Pemerintah Indonesia memiliki rencana untuk melakukan pembatasan pembelian bahan bakar miyak (BBM) bersubsidi, yang gong pemberlakuannya tahun ini, mendapat tanggapan banyak pihak, tidak terkecuali kalangan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Setelah melalui beberapa rapat panjang sektar 14 jam, Komisi VII DPR RI dan pemerintah menyepakati kebijakan pembatasan BBM Bersubsidi yang dimulai akhir kuartil pertama 2011 secara bertahap yang dibacakan oleh Ketua Komisi Teuku Riefky Harsa, di DPR.

Pengantar

Maraknya pemberlakuan pembatasan BBM bersubsidi disejumlah kota memang memunculkan kekhawatiran serta penyelewengan menyusul pemberlakukan pembatasan BBM bersubsidi, memang bisa saja dilakukan kendaraan plat kuning walaupun pemerintah akan melakukan pengawasan secara ketat. Terutama pada pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono , selain itu pemerintah juga memiliki beberapa kebijakan-kebijakan diantaranya kebijakan mengenai BBM bersubsidi.
Pada rapat yang menghasilkan beberapa pendapat bahwa:
“ Pembatasan BBM Bersubsidi baru dapat diterapkan setelah pemerintah memberikan kajian sesuai yang diatur dalam amanat UU No.10 tahun 2010 tentang APBN 2011 penjelasan pasal 7 ayat (2) huruf c.”
“pemerintah segera mengimplementasikan kebijakan pengaturan BBM bersubsidi tersebut pada akhir kuartal pertama 2011 secara bertahap.”
Sementara itu, Hatta menyatakan “pemerintah akan melengkapi kajian yang diminta oleh komisi VII. Dalam pekan ini pihaknya akan mulai rapat untuk melanjutkan kajian yang dimintakan dalam pembahasan tadi. Menurutnya, kebijakan pengaturan BBM bersubsidi ini akan efektif diselenggarakan secara bertahap sekitar akhir Maret atau awal April 2011 mendatang”.
Beberapa spanduk di sejumlah SPBU di Jakarta yang berisi imbauan agar masyarakat beralih ke Pertamax sudah terlihat lusuh bahkan sudah sobek. Namun tetap saja para pemilik kendaraan, terutama mobil mewah masih saja membeli Premium yang disubsidi pemerintah.
"Kita tidak bisa melarang pemilik mobil mengisi Premium. Sebab belum ada aturannya. Lagi pula biar pun membeli Premium kami tidak merasa rugi. Karena kami tetap dapat untung," jelas Syarif, operator SPBU di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Bagi pengusaha SPBU mungkin ada atau tidaknya BBM bersubsidi tidak ada masalah. Namun bagi pemerintah subsidi tersebut bisa menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada 2010 saja, menurut catatan Kementerian ESDM subsidi BBM menelan Rp 89,9 triliun.
Tahun 2011 angkanya meningkat menjadi Rp 109,5 triliun lantaran BBM yang disubsidi mencapai 42 juta kilo liter. Angka itu akan meningkat jika ada fluktuasi harga minyak dunia yang didikte pasaran.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan melonjaknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi alias pertamax akan kembali menyumbang inflasi yang cukup tinggi di bulan Februari 2011. Pada bulan Januari ini, harga Pertamax sudah memberikan sumbangan terhadap inflasi sebesar 0,02 persen
Sayangnya, pemberian subsidi itu dianggap tidak tepat sasaran. Pemerintah mengungkapkan 75 persen subsidi jatuh ke tangan yang tidak layak. Jadi tidak tepat sasaran. Karena alasan itu pemerintah semakin semangat untuk membatasi subsidi BBM. Untuk tahap awal akan diuji coba di semua SPBU yang ada di wilayah Jabodetabek. Bila berjalan mulus maka sejumlah daerah lainnya bakal menyusul membatasi penggunaan BBM bersubsidi.
Hanya saja keinginan tersebut ditentang pengusaha. Pasalnya, jika pembatasan subsidi dilakukan bisa berdampak pada kenaikan harga. "Ini bisa berdampak kepada pengusaha. Mau tidak mau akan memaksa kami untuk menaikan harga produk," jelas Ketua kadin DKI Eddy Kuntadi kepada detikcom.
Menurut Kustandi, kalau pemerintah memutuskan BBM naik atau pembatasan subsidi BBM, pemerintah harus membuat kebijakan lain yang bisa menekan daya saing pengusaha sehingga para pengusaha tidak perlu menaikkan harga produk. "Kita mengerti ada satu sisi kepentingan untuk mengamankan APBN. Tapi kita tidak bisa langsung setuju karena akan terjadi gejolak yang drastis. Kita usulkan agar tidak dilakukan dulu pembatasan BBM," harapnya.
Penentangan terhadap pembatasan subsidi BBM ini juga dikatakan pengamat perminyakan Kurtubi. Menurutnya, pembatasan BBM bersubsidi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2004 terkait hasil uji materi UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Dijelaskan pengajar Pascasarjana FEUI tersebut, pemaksaan terhadap rakyat untuk membeli BBM non subsidi yang harganya diserahkan ke pasar adalah bertentangan dengan putusan MK. "Bila pemerintah memberlakukan hal itu maka kebijakan tersebut dapat dilihat sebagai bentuk pelanggaran terhadap Pasal 33 UUD 1945," ujarnya.
Selain itu, kebijakan pencabutan subsidi dinilai akan menaikkan harga secara terselubung, sehingga dapat memicu inflasi, menaikkan suku bunga, menurunkan daya beli masyarakat, dan meningkatkan jumlah orang miskin. Sementara mekanisme kontrol diyakini tidak akan efektif karena ribet.
Sementara Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berpandangan, pembatasan subsidi BBM akan menimbulkan efek sosial dan ekonomi. Efek sosial yang akan terjadi salah satunya, sopir angkot atau sopir bus memborong premium untuk dijual di rumahnya pada pengguna mobil.
Bagi kosumen menggunakan Pertamax kenaikan biayanya akan terlalu besar. Harga Pertamax Rp 8 ribuan, artinya naik 100 persen dari Premium. Ditambah lagi harga pertamax mengalami ketidakpastian harga.
"Menurut BI dengan adanya pembatasan BBM akan terjadi inflasi meskipun lebih rendah dibandingkan bila menaikkan harga premium. Namun BI ini kan belum memperhatikan distorsi ekonomi yang terjadi seperti perpindahan pengguna roda empat menjadi roda dua," urainya.
Saran YLKI, daipada pembatasan BBM pemerintah sebaiknya menaikan harga Premium secara berkala dengan presentasi terukur. Sehingga harganya jadi ideal. Sebab selama ini pemerintah mengeluh harga jual BBM masih di bawah harga produksi. Tapi di sisi lain, kata Tulus, subsidi tetap diperlukan pada golongan yang berhak.
Sayangnya, imbuh Tulus, Presiden SBY tidak punya keberanian menaikan harga BBM. Selama ini masalah BBM menjadi komoditas politik pemerintah. Mereka ingin citranya dikatakan baik di mata masyarakat. Sementara sasaran dari subsidi BBM tersebut salah alamat. Pemerintah justru menguntungkan kalangan menengah atas bukan menengah ke bawah.
Kaki kanan melangkah ke depan sementara kaki kiri masih di belakang. Itulah gambaran keraguan sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Depok-Bekasi (Jabodetabek), menyikapi rencana pembatasan subsidi BBM, April mendatang.
Padahal Dirut Pertamina Karen Agustiawan sebelumnya mengatakan, sampai akhir tahun 2010 kesiapan SPBU menjalankan program pembatasan BBM bersubsidi akan mencapai 75 persen. Dan akhir Februari 2011, seluruh SPBU di Jabodetabek yang jumlahnya sebanyak 720 buah sudah siap. Tapi nyatanya, sampai pertengahan Februari SPBU yang sudah menyiapkan infrastruktur belum ada separuhnya. Sebab para pengusaha SPBU masih menunggu kepastian pemerintah.
Apakah pembatasan BBM itu jadi atau tidak ?
"Saat ini baru 25 persen dari 720 SPBU di Jabodetabek yang sudah melakukan pembenahan infrastruktur. Selebihnya masih memilih menunggu," jelas Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Migas Eri Purnomohadi, saat berbincang-bincang dengan detikcom.
Banyaknya pengusaha SPBU yang belum bersiap-siap, kata Purnomohadi, lantaran mereka masih menunggu kepastian hukum. Soalnya saat ini rencana pembatasan BBM baru diteken Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Darwin Saleh. Sementara Presiden SBY belum juga memberikan keputusan.
Dan di tengah ketidakpastian ini para pengusaha jadi bimbang. Karena untuk membangun infrastruktur bagi SPBU kecil dibutuhkan sedikitnya Rp 500 juta untuk investasi. Paling tidak harus membangun kanopi, membeli dispenser BBM, serta modal kerja. Bila kemudian program tersebut batal, tentu saja investasi yang dikeluarkan jadi sia-sia. Vice President Komunikasi Korporat PT Pertamina Mochamad Harun mengakui adanya kekhawatiran sejumlah SPBU yang kurang sreg dengan kebijakan pembatasan BBM. Terutama yang belum punya tangki Pertamax.
"Tapi setelah dilakukan pendekatan dan diberi gambaran peluang-peluangnya, mereka akhirnya menyepakati. Yang mereka harapkan saat ini adalah kepastian hukum. Sebab ini menyangkut investasi mereka," ujar Harun.
Masalahnya semakin rumit ketika para pengusaha SPBU harus bersaing dengan SPBU milik asing. Soalnya sejak awal mereka memang hanya menjual BBM non subsidi. Jadi program pembatasan BBM ini, kata Harun, memang ditunggu-tunggu SPBU asing. Mereka lebih siap.
Repotnya lagi, SPBU dalam negeri bakal punya tugas tambahan. Para pengusaha lokal ini juga harus konsentrasi dalam menjual premium dengan dua harga. Hal ini tentu saja membuat konsentrasi pengusaha SPBU jadi terbelah. Sebab operatornya bukan hanya memberikan pelayanan yang baik saja. Meraka juga harus mengawasi kendaraan yang layak beli BBM subsidi dan yang non subsidi.
"Kami harus tambah operator baru. Dan operator itu harus ditraining lebih dulu. Sedangkan sampai saat ini pemerintah belum menyiapkan program training untuk operator yang nantinya akan melayani pengisian Premium," keluh Purnomohadi.
Untuk menjalankan program pembatasan BBM ini, jelas Purnomohadi, memang dibutuhkan tambahan pengetahuan bagi operator. Sebab menyangkut penerapan Undang-undang. Tapi masalahnya tidak semua operator layak untuk menjalankannya, lantaran banyak yang latar belakang pendidikannya rendah.
Selama ini operator di tiap-tiap SPBU hanya bertugas mengisi BBM saja. Adapun tambahan tugas mereka memberikan pelayanan maksimal bagi pengisi BBM, seperti menunjukan angka nol pada dispenser dan bersikap ramah. Itu pun tidak semua operator di setiap SPBU menjalankan.
Karena keterbatasan operator yang mumpuni, pengusaha SPBU kemudian meminta pemerintah menempatkan petugas khusus di setiap dispenser yang melayani penjualan premium bersubsidi. Paling tidak seminggu sebelum penerapan sampai sebulan setelah penerapan.
"Kalau operator kan tugasnya hanya mengisi saja. Kalau kewenangan memilah mana kendaraan yang bisa beli Premium subsidi atau bukan, ini pekerjaan luar biasa.Dan rawan terjadi kesalahan," jelasnya.
Permintaan petugas khusus, yakni seorang government officer, sebetulnya sudah diusulkan Hiswana Migas kepada BPH Migas. Sayangnya, sampai sekarang tidak jelas tanggapannya.
Yang pasti, kata Purnomohadi, dengan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, yang diuntungkan adalah SPBU asing. Sebab mereka bisa leluasa menyerap market BBM non subsidi tanpa harus menjalankan tugas pemerintah terkait pelayanan BBM bersubsidi.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), ternyata juga melihatnya demikian. Ketua Bidang Transportasi YLKI, Tulus Abadi mengatakan, program pembatasan subsidi BBM bisa mengancam SPBU nasional.
Penyebabnya, masyarakat yang akan mengisi BBM non subsidi akan berpindah ke SPBU asing yang selama ini produknya dicitrakan jauh lebih baik dan murah dibanding BBM yang dijual Pertamina.
"Faktanya memang begitu. Pertamax SPBU asing lebih baik dibanding produk Pertamina. Bila masyarakat dipaksakan harus beli Pertamax, mereka lebih baik membeli yang asing karena lebih murah dan kualitas lebih bagus," beber Tulus.
Selain ancaman harga dan kualitas, masalah fasilitas di SPBU juga menjadi sebab masyarakat membeli Pertamax di SPBU milik asing. Dengan modal yang besar SPBU asing bisa dengan mudah mendirikan SPBU-SPBU di sejumlah tempat lengkap dengan fasilitas pendukungnya.
Sementara SPBU lokal harus berpikir panjang untuk merogoh koceknya untuk membangun sejumlah fasilitas pendukung. Soalnya para pemilik SPBU lokal kebanyakan pengusaha menengah.
"Saya curiga kalau pemerintah memaksakan pembatasan BBM atau memilih opsi tersebut, ini merupakan sounding dari kepentingan asing,"duga Tulus.
Sebenarnya, lanjut Tulus, sikap pemerintah yang melarang pemakaian premium itu melanggar UUD dan UU Migas. Sebab menggunakan premium itu merupakan hak warga negara. Pemerintah tidak boleh melarang. Yang harus digunakan harusnya instrumen harga bukan larangan.
Karena dengan subsidi BBM membuat pemerintah jadi malas memperbaiki transportasi publik. Akibat buruknya transportasi publik, masyarakat memilih ke kendaraan pribadi. Ini yang menyebabkan subsidi BBM ikut tinggi.
"Sebaiknya harga BBM dinaikkan saja secara bertahap. Selain itu pemerintah secara serius membangun sarana transportasi massal," pungkas Tulus

Kebijakan mengenai BBM Besubsidi.

Pemerintah bersikeras pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi harus diberlakukan tahun 2011 ini. Kebijakan akan diberlakukan dari daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) terlebih dulu mulai April nanti. Selanjutnya pada 2013 diharapkan kebijakan ini sudah berlaku di seluruh Indonesia.
Dengan diberlakukannya pembatasan BBM ini, maka semua kendaraan roda empat berpelat hitam dan merah akan dilarang mengkonsumsi BBM bersubsidi yakni premium dan solar. Hanya kendaraan roda dua, roda tiga, angkutan umum, yang masih diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi.
Pembatasan BBM bersubsidi ini sebenarnya sudah diwacanakan pemerintah sejak 2010. Namun pelaksanaannya terus tertunda dengan berbagai alasan. Nah, tahun 2011 ini Menteri Keuangan Agus Martowardojo tidak ingin kebijakan ini ditunda-tunda lagi. Sebab jika rencana ini batal, maka anggaran subsidi BBM terancam membengkak Rp 3 triliun per tahun.
Tahun 2011 anggaran subsidi BBM bahkan naik hingga Rp 3,9 triliun. Subsidi yang sebelumnya Rp 88,9 triliun di 2010, naik menjadi Rp 90,8 triliun tahun 2011 ini. Yang lebih bikin geregetan pemerintah subsidi yang jumlahnya triliunan itu justru dinikmati oleh orang yang salah. Data pemerintah sebanyak 75 persen subsidi BBM jatuh ke tangan orang yang mampu.
Dengan alasan tersebut maka pemerintah ngotot akan membatasi BBM. Masalahnya, pemberlakuan kebijakan ini juga harus diikuti kesiapan infrastruktur. Fasilitas yang mempermudah ketersediaan BBM non subsidi (Pertamax) harus segera dibangun karena saat ini SPBU yang ada banyak yang belum memiliki tanki-tanki untuk menyimpan Pertamax. Saat ini jika kita keluar kota misalnya susah sekali untuk menemukan SPBU-SPBU baik milik Pertamina atau asing yang menjual BBM non subsidi.
Sementara itu, pengusaha SPBU masih ogah-ogahan menjual Pertamax karena butuh investasi yang mahal. Pengusaha tidak mau rugi bila sudah terlanjur menyiapkan sarana ternyata kebijakan tersebut batal. Data Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas), baru 25 persen dari 720 SPBU di Jabodetabek yang sudah melakukan pembenahan infrastruktur untuk bisa menjual Pertamax.
Dengan kenyataan tersebut, apakah bisa SPBU mengebut membangun infrastruktur, sedangkan di sisi lain mereka mengaku kekurangan modal? Maka bila sarana belum siap, tapi April nanti tetap ngotot mewajibkan pemilik kendaraan roda empat plat hitam membeli Pertamax, bisa dibayangkan, antrean untuk mendapatkan Pertamax akan sangat panjang. Pertamax akan sangat langka dan susah dicari, lantas harganya akan melambung tinggi dan membuat susah para konsumennya. Pendek kata, semua akan menjadi kacau balau.
Selain masalah kesiapan yang minim, efektifkah pembatasan BBM bersubsidi? Banyak ahli perminyakan mengkritik pembatasan BBM tidak akan efektif. Uang yang dihemat dari pembatasan BBM itu tidak akan sebanding dengan ongkos politik dan psikologis yang timbul. Tentu akan menjadi percuma bila angka yang dihemat kecil sementara risiko politiknya begitu besar.
Bila dirunut, pemberian subsidi BBM sesungguhnya sudah salah sejak awal. Di dunia ini hanya Indonesia, Venezuela, Iran dan Arab Saudi saja yang memberikan subsidi BBM pada rakyatnya.Persoalannya, negara lain yang memberikan subsidi BBM memang memiliki persediaan minyak yang melimpah ruah. Sementara Indonesia kini sudah menjadi pengimpor minyak. Memaksa memberi subsidi sungguh tidak logis dilakukan. Ditambah lagi mayoritas subsidi yakni 75 persen jatuh ke tangan orang yang salah. Maka sudah seharusnya dan tidak ada pilihan lain untuk menghapus subsidi alias menaikkan harga premium. Tentunya kenaikan harga harus dilakukan secara berkala agar jangan sampai menimbulkan gejolak.
Namun pemerintah ternyata saat ini tidak berminat untuk menghilangkan subsidi. Tentu kita sama-sama tahu masalah BBM selalu menjadi masalah sensitif bagi masayarakat dan pemerintah. BBM selalu tidak hanya terkait masalah ekonomi, tapi juga masalah politik. Mencabut subsidi tentu pemerintah akan dicap tidak populis, sehingga pemerintah akan babak belur panen kritikan dan hujatan. Menko Perekonomian Hatta Rajasa misalnya menyatakan pemerintah tidak mau dicap tidak punya hati dengan menaikkan harga BBM (Premium).
Makanya pemerintah seolah mengambil jalan tengah yakni melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Harapannya, dengan pembatasan tersebut, citra pemerintah tetap melindungi rakyat kecil terjaga. Anggapannya toh yang dilarang membeli BBM bersubsidi orang-orang yang mampu. Rakyat kecil masih tetap dilindungi dan diberikan subsidi, demikian anggapan yang ingin dibangun.
Padahal di balik itu, solusi tersebut tidak menyelesaikan masalah. Pemerintah tetap saja harus membayar subsidi. Sementara uang yang ingin dihemat tidak seberapa. Pemerintah tidak rela subsidi bengkak hingga Rp 3 trilun setiap tahun. Coba bandingkan dengan pemborosan akibat kemacetan di Jakarta yang jumlahnya mencapai Rp 5 triliun setiap tahun. Seharusnya pemerintah bisa menutup defisit subsidi tersebut salah satunya dengan menghapus kemacetan misalnya. Masalahnya pemerintah, mungkin ingin cari mudah dan citranya terjaga.
Dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai pembatasan BBm bersubsidi, maka saya menilai bahwa tujuan dari pemerintah baik walaupun tidak begitu setuju, yaitu menghemat dan mengalihkan anggaran negara dari subsidi BBm ke sektor lain, tetapi jangan sampai disalahgunakan dana tesebut. Kesiapan untuk diberlakukannya kebijakan tersebut juga harus sudah siap seperti fasilitas,SDM, dan sanksi bagi yang melanggar kebijakan tersebut serta mekanisme yang diterapkan nanti.
Imbas yang akan dirasakan akan cukup besar karena akan merambat ke bidang yang lain. Masyarakat harus siap jika kebijakan tersebut terealisasikan, seperti menggunakan kendaraan yang irit bahan bakar, beralih ke kendaraan umum, dan masih banyak lagi solusi untuk mengatasi kebijakan tersebut.

Apa Untung dan Ruginya BBM Bersubsidi ?
Dengan pembatasan BBM bersubsidi ini pemerintah, tentunya mengalami penghematan dari sejumlah premium yang tidak lagi dijual pemerintah atau Pertamina secara subsidi. Misalnya, kalau Premium itu jumlahnya 10 juta kilo liter, keuntungannya 10 juta kilo liter dikali subsidi Premium. Itu keuntungan dan penghematan atas pembatasan subsidi BBM itu. Tetapi rakyat harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk memperoleh BBM sebanyak jumlah kendaraan plat hitam dikali selisih harga Pertamax dikurangi Premium, yang saat ini Pertamax Rp 8.500.sampai mengalami kenaikan.
Di samping nanti akan ada kenaikan harga barang dan jasa, kenaikan inflasi, kenaikan suku bunga, penurunan investasi, peningkatan pengangguran, penurunan daya beli rakyat serta penambahan jumlah rakyat miskin. Ini dampak kebijakan pembatasan BBM sendiri.Selain itu keuntungannya seperti menghemat anggaran negara sebesar Rp.3,8 triliun, untuk di relokasikan anggaran subsidi tersebut ke program energy lain,unk infrastuktu pasokan gas bumi dan Anggaran tersebut dialihkan untuk memperbaiki fasilitas angkutan umum yang murah dan nyaman.
Disisi lain, kerugian dari pembatasan subsidi BBM, ialah:
• para pakar ekonomi menilai akan berdampak inflasi
• sulit unk diterapkankannya kedua opsi tsb krn akan adanya disparatis harga dan moral hazard
• berimbas pada bisnis yaitu ukm yang menggunakan kendaraan oprasional
• kebijakan pembatasan bbm bersubsidi dinilai tidak visioner

Dampak yang ditimbulkan dari pembatasan Subsidi
Pemerintah dan DPR sepakat per akhir Maret 2011 akan menerapkan pengaturan konsumsi BBM bersubsidi di kawasan Jabodetabek.
Kendaraan pribadi roda empat dilarang mengonsumsi BBM bersubsidi, namun hampir pasti hal itu menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya..
Implikasi Pertama, Menurut pengamat ekonomi Faisal Basri maka kebijakan itu akan menimbulkan banyak persoalan baru akibat disparitas harga yang tinggi antara BBM bersubsidi Rp 4.500 dan Pertamax Rp 8500 lebih per liter. Sehingga membuat konsumen berpindah ke BBM bersubsidi.
Dampaknya akan terjadi kelangkaan di setiap daerah yang memasok BBM subsidi.
Kedua, Dengan peralihan dari premium seharga Rp 4.500 ke Pertamax Rp 8500 lebih per liter, berarti ada kenaikan Rp 4000 lebih per liter yang harus ditanggung konsumen. Kenaikan biaya transportasi ini akan mendorong kenaikan biaya produksi.
Dampak kenaikan biaya ini akan memunculkan efek bergulir luar biasa yang mengakibatkan daya beli masyarakat turun dan daya saing produk Indonesia melemah. Pemerintah harus ingat, tahun 2011 tahun tekanan tinggi terhadap inflasi. Dampaknya tidak sebanding dengan penghematan subsidi hanya Rp 3,8 triliun tersebut.

Ketiga, , pembatasan subsidi BBM untuk kendaraan roda empat berpotensi menimbulkan persoalan baru dan distorsi dalam pelaksanaannya. Menurut pengamat minyak dan gas Pri Agung Rakhmanto mengemukakan Pembatasan subsidi BBM ini hanya akan mengurangi volume pemakaian BBM subsidi. Nilai penghematan yang diperoleh berkisar Rp 1,5 triliun. Namun, tak ada jaminan bahwa pengendara kendaraan pribadi roda empat tidak akan beralih ke sepeda motor. Sejumlah potensi penyimpangan juga berpeluang muncul, di antaranya kendaraan umum memanfaatkan pembelian BBM subsidi untuk dijual lagi.
Para pengamat itu melihat, akan lebih baik kalau pemerintah mengkaji opsi menaikkan harga BBM secara bertahap dan merata. Dengan kenaikan secara bertahap, pemerintah bisa fokus untuk mengalihkan subsidi dari komoditas menjadi subsidi untuk sistem jaminan sosial nasional bagi masyarakat miskin.

Kesimpulan
Dengan adanya pembatasan subsidi ini akan menghemat energi, terutama BBM, serta menghemat APBN untuk subsidi BBM sebesar 1,5 Triliun. Tetapi rakyat harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk memperoleh BBM sebanyak jumlah kendaraan plat hitam dikali selisih harga Pertamax dikurangi Premium, yang saat ini Pertamax Rp 8.500 lebih.sampai mengalami kenaikan.
Di samping nanti akan ada kenaikan harga barang dan jasa, kenaikan inflasi, kenaikan suku bunga, penurunan investasi, peningkatan pengangguran, penurunan daya beli rakyat serta penambahan jumlah rakyat miskin. Ini dampak kebijakan pembatasan BBM sendiri.Selain itu keuntungannya seperti menghemat anggaran negara sebesar Rp.3,8 triliun, untuk di relokasikan anggaran subsidi tersebut ke program energy lain,unk infrastuktu pasokan gas bumi dan Anggaran tersebut dialihkan untuk memperbaiki fasilitas angkutan umum yang murah dan nyaman.



















DAFTAR PUSTAKA

N. Gregory Mankiw.2007.Makro Ekonomi edisi Keenam.Jakarta:Erlangga.
Suherman Rosyidi.2002.Pengantar Teori Ekonomi.Jakarta:Raja Grafindo

http://bataviase.co.id/node/530675
http://www.detiknews.com/read/2011/02/17/125619/1572845/159/ngotot-batasi-bbm-demi-pencitraan
http://www.detiknews.com/comment/2011/02/17/132521/1572905/159/bbm-dibatasi-harga-barang-langsung-naik
http://www.detiknews.com/read/2011/02/17/151233/1573035/159/daripada-dibatasi-mending-bbm-naik-tapi-transportasi-umum-baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar