Selasa, 03 Agustus 2010

Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia

Judul Buku : Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia
Penulis : Haqqul Yaqin
Penerbit : eLSAQ Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2009
Tebal : vii + 196 halaman
Harga : Rp 29.000,-
Peresensi : Supriyadi*

Ledakan bom di Mega Kuningan yang meluluhlantahkan hotel berbintang JW Marriott dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, sangat menyedot perhatian publik. Sorotan terhadap aksi terorisme pun tidak dapat disangkal lagi. Dan memang terbukti hal itu adalah aksi dari pada terorisme. Opini publik pun mengarah kepada para radikalis Islam yang mana mempunyai jaringan teroris. Noordin M Top sebagai teroris nomor satu di Indonesia, menjadi dalang dari peristiwa-peristiwa terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia. Islam sebagai agama diaku oleh para teroris sebagai legitimasi pembenaran aksi terorisme mereka. Tidak aneh jika Islam kini menjadi sorotan.

Haqqul Yaqin dalam bukunya yang berjudul “Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia” menyangkal bahwa agama dijadikan sebagai legitimasi atas kekerasan seperti pembenar aksi terorisme. Misi agama adalah sebagai media perdamaian umat, bukan pembenar atas tindakan kekerasan. Hal itu berlaku bagi seluruh agama bahwa agama tidak mengajarkan kekerasan.

Peristiwa terorisme di dua hotel berbintang, yakni JW Marriott dan Ritz Carlton tersebut sangat menyudutkan agama terutama Islam sebagai pembenar adanya aksi kekerasan. Hal itu dikarenakan para teroris tersebut mengatasnamakan agama (Islam) sebagai landasan dan argumen mereka. Padahal, hal itu tidaklah benar.

Akibatnya, dengan ketat setiap gerakan Islam kini diawasi segala tindakannya. Terutama lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren yang mana disinyalir mengajarkan pendidikan kekerasan kepada para santrinya. Hal itu sangat memprihatinkan, Islam yang dalam sejarahnya datang ke Indonesia secara damai dan toleransi terhadap tradisi lokal, kini menjadi obyek yang seolah-olah disalahkan.

Ajaran Kekerasan

Kekerasan adalah suatu aksi yang mana mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Kekerasan lahir dari sikap amoral brutal. Tidak ada pembenaran atas amoralitas yang mana menjadi dasar dari pada kekerasan. Sementara itu, agama bersifat sakral yang mana sangat menjunjung dan mengedepankan perdamaian. Dengan demikian, agama mustahil mengajarkan kekerasan. Akan tetapi, sebagian umat beragama seringkali mengatasnamakan agama atas aksi kekerasannya sebagai legitimasinya.

Semua agama menolak kekerasan sebagai prinsip dalam melakukan suatu tindakan. Pada dasarnya kekerasan adalah prinsip yang bersifat amoral karena kekerasan selalu mengandaikan pemaksaan kehendak terhadap pihak lain yang berarti pelanggaran terhadap asas kebebasan dalam interaksi sosial. Karena itu, setiap tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama merupakan suatu sikap oxymoron (hal. 2).

Kekerasan yang mengatasnamakan agama pada dasarnya tidak ada pembenarannya. Barangkali, pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama berangkat dari penafsiran teks-teks kitab suci. Kitab suci merupakan pedoman bagi umat beragama karena dalam kitab suci tersebut mengandung ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin.

Hanya saja, penafsiran antara seorang dengan orang yang lain tidaklah berakhir pada hasil yang sama. Penafsiran terhadap kitab suci terkadang disesuaikan dengan kultur, karakter manusia, kekuatan berpikir, politik, rasionalitas, dan pemahaman yang berbeda pada masing-masing mufassir (penafsir). Hal itu juga terjadi pada ayat-ayat yang melandasi aksi kekerasan yang mana ditafsirkan oleh mufassir sebagai argumen legitimasi atas aksi kekerasan tersebut.

Hal itu tidaklah benar adanya, meski bersumber dari teks kitab suci, akan tetapi akhirnya adalah terletak pada si mufassir itu. Jika mufassir itu menafsirkan demikian, maka itulah yang dianut sehingga melahirkan suatu implementasi dan pengamalan ajaran dari kitab suci. Namun jika dilihat dari sisi esensial agama, hal itu tentunya sangat kontradiktif mengingat agama pada dasarnya adalah misionaris perdamaian untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Jadi mufassir yang menafsirkan ayat dari kitab suci sebagai landasan kekerasan adalah salah menafsirkan.

Agama dan kekerasan adalah dua persoalan yang saling menegasikan dan tidak mungkin dikonvergensikan dalam satu bentuk pemahaman yang utuh. Agama mengakui kekerasan sebagai perumpamaan dari realitas dunia yang tidak ideal, sarat dengan hawa nafsu dan keberdosaan. Karena itu kekerasan yang secara konstitutif inheren dalam agama justru diarahkan untuk menegasikan realisasi praktik-praktik kekerasan itu sendiri. Kekerasan dalam agama adalah hukuman yang dikenakan untuk anggota komunitas umat yang terbukti tidak mematuhi perintah Tuhan sebagaimana terdapat dalam ajaran agama (hal. 43).

Keterkaitannya dengan fenomena pengeboman hotel JW Marriott dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, pelaku dari pengeboman tersebut adalah teroris yang mengatasnamakan agama (Islam) dalam aksinya. Islam kemudian dijadikan sebagai kambing hitam atas sakralitas aksi terorisme yang dianggap sebagai jihad. Hal itu mengakibatkan citra Islam menjadi buruk di mata dunia. Dunia (terutama orang-orang Barat) mengklaim Islam sebagai agama teroris, yakni pembenar aksi-aksi terorisme. Padahal, Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang berarti rahmat (kasih sayang) bagi seluruh alam. Akan tetapi, makna tersebut menjadi terbalik menjadi ancaman (kekerasan) bagi seluruh alam, karena aksi para teroris tersebut.

Dengan membaca buku yang berjudul “Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia”, para pembaca diajak untuk menyelami makna agama secara orisinil beserta ajarannya yang tidak mengajarkan kekerasan. Buku tersebut layak dipublikasikan dengan tujuan untuk menepis anggapan bahwa aksi terorisme atau kekerasan itu diajarkan oleh agama (Islam). Dengan demikian, umat beragama harus menyadari makna agama secara total sehingga doktrin kekerasan berkedok agama mampu ditepis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar