Selasa, 03 Agustus 2010

Agama dan Kekerasan (dalam transisi demokrasi di Indonesia)

RESENSI

Judul buku : Agama dan Kekerasan (dalam transisi demokrasi di Indonesia)
Penulis : Haqqul Yaqin
Editor : A. Rofiq Adnan
Layout : Yovie Aufa Firdaus
Penerbit : eLSAQ Press
Cetakan I : Agustus 2009
Tebal : vii+198 Halaman

Kelebihan buku ini diantaranya yaitu membahas banyak tentang ajaran kebaikan, ramah, dan sikap baik dari berbagai agama, baik itu tingkah laku baik dari kalangan muslim ataupun dari non muslim. Namun yang lebih tercermin sikap keras / kekerasan yang terdapat dalam agama itu sendiri.
Kekurangan dalam buku ini terlalu banyak bahasa ilmiah, sehingga bagi pembaca yang masih minim dalam pembendaharaan kata-kata ilmiah sulit untuk memahami isi yang terkandung dalam bacaan.
Buku Agama dan Kekerasan ini adalah sebuah karya dari seorang penulis yang bernama Haqqul Yaqin yang lahir Sumenep Madura. Haqqul Yaqin adalah lulusan dari Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang sekarang menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, jurusan Bahasa dan Sastra Arab.
Pengalaman organisasi beliau adalah menjadi ketua himpunan mahasiswa jurusan Bahasa Dan Sastra Arab (HMJ BSA) Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1994-1996). Anggota badan perwakilan mahasiswa fakultas (BPMF), Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1994-1996). Anggota senat mahasiswa institut (SMI), IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1994-1996). Koord. Kaderasi PMII Rayon Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1995-1996). Koord. Balitbang PMII Komisariat IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1996-1997). Koord. Balitbang PMII Cabang DI. Yogyakarta (1997-1998).
Pengalaman kerjanya diantaranya adalah Sebagai dosen Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, DPK pada Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Zainul Hasan Genggong Kraksaan Probolinggo. Staf pengajar pada Institut Agama Islam Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Beberapa karya tulis dan penelitiannya antara lain : Pengantar Metodologi Penelitian Dasar, DESANTARA dan Elkaf, Surabaya, Okt 2007. Analisis Ideologi (trans), IRCiSoD, Yogyakarta, juli 2003. Mengenal syahrur dan corak pemikirannya, mazhabuna, BEMJ Fak. Syariah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2003. Teori – Teori Dasar Pemikiran Modern Dalam Islam, Komunitas, IAI Nurul Jadid, April 2005. Membangun gerakan kuktural, aspiratif, BEM STAI Zainul Hasan, Agustus 2006. Harga Diri Bangsa, aspiratif, BEM STAI Zainul Hasan, Juli 2007. Antar akomodasi dan resistensi, aspiratif, BEM STAI Zainul Hasan, Juli 2008.

Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia

Judul Buku : Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia
Penulis : Haqqul Yaqin
Penerbit : eLSAQ Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2009
Tebal : vii + 196 halaman
Harga : Rp 29.000,-
Peresensi : Supriyadi*

Ledakan bom di Mega Kuningan yang meluluhlantahkan hotel berbintang JW Marriott dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, sangat menyedot perhatian publik. Sorotan terhadap aksi terorisme pun tidak dapat disangkal lagi. Dan memang terbukti hal itu adalah aksi dari pada terorisme. Opini publik pun mengarah kepada para radikalis Islam yang mana mempunyai jaringan teroris. Noordin M Top sebagai teroris nomor satu di Indonesia, menjadi dalang dari peristiwa-peristiwa terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia. Islam sebagai agama diaku oleh para teroris sebagai legitimasi pembenaran aksi terorisme mereka. Tidak aneh jika Islam kini menjadi sorotan.

Haqqul Yaqin dalam bukunya yang berjudul “Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia” menyangkal bahwa agama dijadikan sebagai legitimasi atas kekerasan seperti pembenar aksi terorisme. Misi agama adalah sebagai media perdamaian umat, bukan pembenar atas tindakan kekerasan. Hal itu berlaku bagi seluruh agama bahwa agama tidak mengajarkan kekerasan.

Peristiwa terorisme di dua hotel berbintang, yakni JW Marriott dan Ritz Carlton tersebut sangat menyudutkan agama terutama Islam sebagai pembenar adanya aksi kekerasan. Hal itu dikarenakan para teroris tersebut mengatasnamakan agama (Islam) sebagai landasan dan argumen mereka. Padahal, hal itu tidaklah benar.

Akibatnya, dengan ketat setiap gerakan Islam kini diawasi segala tindakannya. Terutama lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren yang mana disinyalir mengajarkan pendidikan kekerasan kepada para santrinya. Hal itu sangat memprihatinkan, Islam yang dalam sejarahnya datang ke Indonesia secara damai dan toleransi terhadap tradisi lokal, kini menjadi obyek yang seolah-olah disalahkan.

Ajaran Kekerasan

Kekerasan adalah suatu aksi yang mana mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Kekerasan lahir dari sikap amoral brutal. Tidak ada pembenaran atas amoralitas yang mana menjadi dasar dari pada kekerasan. Sementara itu, agama bersifat sakral yang mana sangat menjunjung dan mengedepankan perdamaian. Dengan demikian, agama mustahil mengajarkan kekerasan. Akan tetapi, sebagian umat beragama seringkali mengatasnamakan agama atas aksi kekerasannya sebagai legitimasinya.

Semua agama menolak kekerasan sebagai prinsip dalam melakukan suatu tindakan. Pada dasarnya kekerasan adalah prinsip yang bersifat amoral karena kekerasan selalu mengandaikan pemaksaan kehendak terhadap pihak lain yang berarti pelanggaran terhadap asas kebebasan dalam interaksi sosial. Karena itu, setiap tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama merupakan suatu sikap oxymoron (hal. 2).

Kekerasan yang mengatasnamakan agama pada dasarnya tidak ada pembenarannya. Barangkali, pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama berangkat dari penafsiran teks-teks kitab suci. Kitab suci merupakan pedoman bagi umat beragama karena dalam kitab suci tersebut mengandung ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin.

Hanya saja, penafsiran antara seorang dengan orang yang lain tidaklah berakhir pada hasil yang sama. Penafsiran terhadap kitab suci terkadang disesuaikan dengan kultur, karakter manusia, kekuatan berpikir, politik, rasionalitas, dan pemahaman yang berbeda pada masing-masing mufassir (penafsir). Hal itu juga terjadi pada ayat-ayat yang melandasi aksi kekerasan yang mana ditafsirkan oleh mufassir sebagai argumen legitimasi atas aksi kekerasan tersebut.

Hal itu tidaklah benar adanya, meski bersumber dari teks kitab suci, akan tetapi akhirnya adalah terletak pada si mufassir itu. Jika mufassir itu menafsirkan demikian, maka itulah yang dianut sehingga melahirkan suatu implementasi dan pengamalan ajaran dari kitab suci. Namun jika dilihat dari sisi esensial agama, hal itu tentunya sangat kontradiktif mengingat agama pada dasarnya adalah misionaris perdamaian untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Jadi mufassir yang menafsirkan ayat dari kitab suci sebagai landasan kekerasan adalah salah menafsirkan.

Agama dan kekerasan adalah dua persoalan yang saling menegasikan dan tidak mungkin dikonvergensikan dalam satu bentuk pemahaman yang utuh. Agama mengakui kekerasan sebagai perumpamaan dari realitas dunia yang tidak ideal, sarat dengan hawa nafsu dan keberdosaan. Karena itu kekerasan yang secara konstitutif inheren dalam agama justru diarahkan untuk menegasikan realisasi praktik-praktik kekerasan itu sendiri. Kekerasan dalam agama adalah hukuman yang dikenakan untuk anggota komunitas umat yang terbukti tidak mematuhi perintah Tuhan sebagaimana terdapat dalam ajaran agama (hal. 43).

Keterkaitannya dengan fenomena pengeboman hotel JW Marriott dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu, pelaku dari pengeboman tersebut adalah teroris yang mengatasnamakan agama (Islam) dalam aksinya. Islam kemudian dijadikan sebagai kambing hitam atas sakralitas aksi terorisme yang dianggap sebagai jihad. Hal itu mengakibatkan citra Islam menjadi buruk di mata dunia. Dunia (terutama orang-orang Barat) mengklaim Islam sebagai agama teroris, yakni pembenar aksi-aksi terorisme. Padahal, Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang berarti rahmat (kasih sayang) bagi seluruh alam. Akan tetapi, makna tersebut menjadi terbalik menjadi ancaman (kekerasan) bagi seluruh alam, karena aksi para teroris tersebut.

Dengan membaca buku yang berjudul “Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia”, para pembaca diajak untuk menyelami makna agama secara orisinil beserta ajarannya yang tidak mengajarkan kekerasan. Buku tersebut layak dipublikasikan dengan tujuan untuk menepis anggapan bahwa aksi terorisme atau kekerasan itu diajarkan oleh agama (Islam). Dengan demikian, umat beragama harus menyadari makna agama secara total sehingga doktrin kekerasan berkedok agama mampu ditepis.

"Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia"

Judul Buku : Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia

Penulis : Haqqul Yaqin

Penerbit : eLSAQ Press

Cetakan : pertama pada Agustus 2009

Tebal Buku : (x+196) halaman

Harga Buku : Rp. 20.000,-


Masa transisi adalah masa dimana keadaan di suatu pemerintahan dalam kondisi tidak menentu, disini yang dimaksud penulis adalah kondisi di Indonesia. Dalam kondisi serba tidak menentu itulah, agama yang seharusnya merupakan juru kedamaian, tiba-tiba muncul sebagai bagian dari fenomena-fenomena kekerasan yang terjadi di tanah air.

Pada dasarnya, semua agama adalah sama yaitu mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan kebaikan. Semua agama menolak kekerasan bahkan mengutuk segala jenis kekerasan. Hanya saja karena kurang tepatnya melihat agama dari aspek kegunaannya (utility) serta penyimpangan dari aspek-aspek lainnya yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan massal di Indonesia.

Dalam buku ini, penulis memunculkan berbagai fakta serta beberapa argumen dari para ahli yang tercantum di beberapa buku membahas tentang perjalanan agama sebagai kepercayaan bagi para pemeluknya hingga peranan agama dalam demokrasi pemerintahan di Indonesia mulai dari momen awal kemerdekaan hingga pemerintahan reformasi.

Demokrasi sebagai sistem politik yang memiliki nilai-nilai universal, mengalami masa-masa fluktuasi di Indonesia. Momentum proklamasi 17 Agustus 1945 yang seharusnya menjadi tonggak bagi rakyat Indonesia untuk bebas dari keterbelengguannya dari penjajah. Namun dalam penerapannya demokrasi terpimpin di bawah Soekarno tidak jauh berbeda dengan saat berada di bawah kuasa kolonial. Kemudian Orde Lama runtuh dan digantikan oleh lahirnya Orde Baru sebagai momentum kedua. Dengan adanya pergantian ini diharapkan dapat menata diri bangsa Indonesia untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan orde sebelumnya. Namun momentum kedua ini pun tidak dapat berfungsi maksimal. Semangat awal yang mendasarkan diri pada ideologi Pancasila berubah menjadi bentuk penindasan terhadap rakyat dengan cara mereduksi hakikat kebebasan yang dimiliki rakyat baik secara ekonomi, politik, hukum dan budaya.

Era reformasi yang menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru merupakan momentum ketiga yang saat ini dimiliki bangsa Indonesia. Namun momen ini pun belum dapat menjadi salah satu model demokrasi ideal. Di masa transisi dari Orde Baru ke Era Reformasi, agama justru menjadi pemicu tindak kekerasan. Pada masa Orde Baru, kekerasan agama merupakan bagian dari kebijakan politik. Sehingga pada masa transisi ini, kekerasan agama menjadi fenomena yang complicatied. Kekerasan yang muncul tidak lagi hanya murni sebagai persoalan agama.

Secara garis besar, penulis ingin menyampaikan aspirasinya tentang penyebab kekerasan yang muncul pada masa transisi Orde Baru - Era Reformasi merupakan imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya (Orde Baru) yang menyebabkan masyarakat tertindas secara ekonomi, politik, budaya dan agamanya sendiri. Dan penulis mengharapkan agar tatanan demokrasi di Indonesia dapat berjalan sebagaimana mestinya sehingga dapat terciptanya Masyarakat Madani.